Sabtu, 15 Juni 2013

Surat Terbuka Untuk Presiden (SBY)

Pak Presiden yang baik,
surat sbyMari kita berbicara jujur tentang kenaikan harga minyak, kami mungkin tidak pandai berhitung: Bagaimana sebenarnya harga minyak ditentukan? Bagaimana neraca perekonomian nasional diperlakukan? Atau pertimbangan apa yang dipakai sehingga satu-satunya pilihan untuk ‘menyelamatkan seluruh bangsa’ harus sama dan dengan menaikkan harga-harga? Bagi kami, angka-angka selalu terdengar sebagai ilusi belaka, Pak. Setiap hari kami mendengar satuan ‘miliar’ atau ‘triliun’ disebutkan dalam berita-berita, tanpa pernah benar-benar melihatnya dalam bentuk yang sesungguhnya—apalagi menghitungnya satu per satu.

Hidup kami sederhana, disambung lembaran-lembaran uang recehan. Ilmu hitung kami kelas rendahan: berapa untuk makan sehari-hari, uang jajan anak sekolah, biaya transportasi, biaya listrik bulanan, dan kadang-kadang cicilan motor, dispenser atau DVD player. Tak perlu kalkulator. Bila sedang beruntung, kami bisa punya sisa uang untuk jalan-jalan di akhir pekan. Bila sedang sulit, kami tidak ke mana-mana, Pak: Kami mencari kebahagiaan gratisan di televisi—meski kadang-kadang justru dibuat pusing dengan berita-berita tentang beberapa anak buah Bapak yang korupsi.

Tahukah Bapak, dalam televisi, juga koran-koran dan majalah: kami seperti tak punya presiden! Kami seperti tak punya pemimpin! Negara ini terlanjur dikuasai para bandit, Pak!
Ah, mungkinkah Bapak tak sempat menonton TV atau membaca koran sehingga Bapak tak mengetahuinya? Tapi, ke mana saja sih Bapak selama ini? Mengapa hanya muncul untuk bernyanyi, mengucapkan belasungkawa, atau membacakan pidato-pidato bernada lemah yang berisi kabar buruk, permohonan maaf, dan keprihatinan?

Kami, rakyat biasa, sesekali butuh kabar gembira, Pak! Kadang-kadang kami berkhayal bahwa jangan-jangan kami sedang hidup dalam sinetron? Mungkinkah yang berpidato di televisi itu bukan Bapak—tapi kembaran Bapak yang menyamar atau tertukar? Mungkinkah kepala Bapak terbentur batu dan lantas hilang ingatan? Tetapi, tentu saja itu bukan kabar gembira.

Pak Presiden yang baik,
Kelak bila harga BBM naik, dengan gagah dan baik hati konon Bapak akan memberi kami kompensasi: Bapak akan membuat kami mengantre untuk mendapatkan uang bantuan agar kami tak merasa kesulitan. Tapi, pikiran kami sederhana saja, Pak, benarkah Bapak suka melihat kami mengantre, panjang mengular dari Sabang sampai Merauke? Kami tidak suka itu, Pak. Kami tak suka terlihat miskin, apalagi menjadi miskin. Kalau memang Bapak punya uang untuk dibagikan kepada kami, pakailah uang itu, kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan ‘perekonomian nasional’ yang konon sedang gawat itu. Tak perlu naikkan BBM, pakailah uang kami itu: kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan bangsa!
Keluarga kami yang seorang petani dengan kerbau tak mungkin lagi bersaing dengan mesin-mesin yang membutuhkan bensin dan solar untuk berladang, kekuatan pangan jadi hambatan kekuatan ekonomi Negara menjadi terhambat akibat biaya pertanian yang mahal dan mereka pun gulung tikar beralih menjadi budak perusahaan, makan dengan mie instan Dan menjual lahan pertanian apa itu yang bapak inginkan?

Bila perlu, berdirilah di hadapan kami, katakan apa yang negara perlukan dari kami untuk menyelamatkan kegawatan bencana ekonomi negara ini? Bila Bapak perlu uang, kami akan menjual ayam, sapi, mesin jahit, jam tangan, atau apa saja agar terkumpul sejumlah uang untuk melakukan pembangunan dan penyelamatan perekonomian bangsa. Bila Bapak disandra mafia, pejabat-pejabat yang bangsat, atau pengusaha-pengusaha yang menghisap rakyat, tolong beritahu kami: siapa saja mereka? Kami akan bersatu untuk membantumu melenyapkan mereka. Tentu saja, semoga Anda bukan salah satu bagian dari mereka!

Pak Presiden yang baik,

Berapa banyak perusahaan yang ada di negara ini pak? Apakah kami akan selalu bapak jadikan sebagai pengemis recehan dibalik keuntungan mereka yang meraup keuntungan besar dari Negara ini? Apakah bapak tidak berani menaikkan pajak bagi perusahaan-perusahaan asing tersebut?

Dengan alasan perusahaan yang menikmati untung dari BBM yang murah kenapa tidak tergantikan dengan pajak yang mereka bayarkan? Apakah bapak lupa untuk melirik mereka? Atau bapak takut dengan mereka.

Dengarkanlah kami, berdirilah untuk kami, berbicaralah atas nama kami, belalah kami: maka kami akan selalu ada, berdiri, bahkan berlari mengorbankan apa saja untuk membelamu. Berhentilah berdiri dan berbicara atas nama sejumlah pihak—membela kepentingan-kepentingan golongan. Berhentilah jadi bagian dari mereka yang akan kami benci sampai mati. Jangan jadi penakut, Pak Presiden, jangan jadi pengecut! lupakan bisikan-bisikan penjilat di sekelilingmu! Lalu dengarkanlah suara kami, tataplah mata kami: tidak pernah ada satu pun pemimpin di atas dunia yang sanggup bertahan dalam kekuasaannya jika ia terus-menerus menulikan dirinya dari suara-suara rakyatnya!

Pak presiden,

Kami tidak ingin jadi pengemis dengan bantuan yang bapak berikan dari penambahan utang Negara, yang hanya menambah beban Negara. Bank dunia, Bank asia yang memberikan subsidi kepada kami dari pinjaman Negara akan menjadikan anak cucu kami semakin menderita,

Pak Presiden,

Sekali lagi, tentang kenaikan harga minyak, barangkali kami memang tak pandai berhitung. Tapi, sungguh, kami tak perlu menghitung apapun untuk memutuskan mencintai atau membenci sesuatu; termasuk mencintai atau membencimu!
Salam Rakyat Indonesia
(mari kita kirimkan ke Presiden dan seluruh rakyat Indonesia).  (sbb/dakwatuna)





Sumber: 

0 komentar: