Revitalisasi Peran Perempuan, Refleksi Perjuangan Shahabiyah di Masa Kejayaan Islam
Sejarah telah mencatat bahwa perempuan memiliki peran yang
kuat dalam pembangunan Islam. Bagaimana kita mengenal Khodijah, wanita yang
pertama yang membenarkan apa yang dating dari Allah melalui Sang Nabi, sang
saudagar kaya yang telah mengorbankan jiwa, raga serta hartanya untuk dakwah
Islam. Bagaimana Jabal Nur menjadi saksi bahwa jejak-jejak kaki sang mujahidah
itu selalu mendarat setiap minggunya untuk menemui Sang Nabi yang sedang
menyendiri dalam gua yang berbatu, Tidak banyak yang mengetahui tentang ini,
jarang yang mencatat ceritanya, hanya tatapan matahari yang merekamnya kala
itu, hanya gundukan bebatuan yang membentur jemari kakinya yang menjadi saksi
perjuangan itu. Maka Sang mujahidahpun mewarnai dakwah ini dengan jiwa, raga,
harta dan tenaga.
Tidak kalah menggetarkan sejarah. Kita mengenal Sa’ad bin
Muadz as-siddiq yang menjadi pelopor pertama kebenaran wahyu yang dibawa Sang
Rasul pada Kaum Anshar ini adalah putra dari sosok yang luar biasa Kabsyah
binti Rafi’ bin Mu’awiyah. Sosok yang menawan sejarah dengan inisiatifnya untuk
menjadi yang terdepan. Maka tercatat bahwa ia adalah perempuan yang terdepan
menyadiakan kebutuhan bagi Sang Rasul saat ia hijrah ke Madinah, ia pula yang
terus mendorong kedua anaknya untuk menjadi mujahid di medan perang, maka
sosoknya menjadi motivator kebaikan yang mengantarkan kedua anaknya kepada
keberkahan syahid.
Kita juga mengenal, Asma binti Abu Bakar, sosok yang tangguh
itu turut menguatkan peran perempuan dalam kisah paling monumental dalam
sejarah Rasul, Hijrah Sang Nabi ke Madinah. Masih ingatkah saudari tentang satu
alur cerita tentang persembunyian nabi di sebuah gua yang di pintu masuknya
terdapat jaring laba-laba yang telah mengelabui Kafir Quraisy, Satu kali lagi,
perjuangan Asma yang tengah mengandung itu mendaki bukit sambil memanggul
makanan, “Dzatinnitaqain” Sang pemilik dua bilah sabuk, panggilan yang indah
itu disematkan kepadanya, dengan kegigihan dan ketangguhannya menguatkan
langkah sang Nabi menuju masa depan Islam di Madinah. Maka sang mujahidahpun
menyambung dakwah ini dengan ketangguhannya.
Tidak kalah mempesona, Aisyah binti Abu Bakar, satu-satunya
Istri Nabi yang namanya diabadikan oleh Al-Qur’an, Istri yang paling dicintai
Nabi sepeninggal Khodijah ini membuat sejarah Islam semakin mempesona di langit
perjuangan. Aisyah yang selalu berada di sisi Nabi menjadi penyampai ilmu dari
apa yang ia lihat, dari apa yang ia dengar., maka ia berhasil menangkap
pelajaran dari Sang Qudwah. Sehingga dengan kecerdasannya saat ini beribu-ribu
hadits mencatat namanya, maka dengan kecerdasannya pula para sahabat dapat
merasakan madrasah ilmu yang luar biasa. Sang Mujahidahpun menawan dakwah ini
dengan kecerdasannya.
Namun kini, kisah gemilang yang telah ditoreh para perempuan
mulia itui seolah memburam. Kini tidak sedikit tinta hitam yang menetes dalam
lembar sosok perempuan. Bagaimana perempuan dijadikan latar belakang
kasus-kasus yang meruntuhkan peradaban. Saat seorang perempuan harus menjadi
sosok paling berpengaruh dalam kesuksesan pemimpin rumah tangga, ia malah
mejadi alasan kasus pengelapan uang negara. Ketika seorang perempuan yang
harusnya menjadi penguat pondasi moral seorang anak, ia malah mencontohkan
kebobrokan. Maka tidak heran, kasus kekerasan pemuda kini menjadi topik utama
di media. Saat seorang perempuan dituntut untuk anggun dalam menjaga syariat
agama yang memuliakannya, ia malah menjadi batu penghancur dalam mencerminkan
kemuliaan yang dimilikinya dengan memamerkan keindahan dirinya. Maka, kini
kertas kehidupan seorang perempuan seolah tidak memiliki warna yang putih lagi.
Sebagai seorang perempuan, tidak rindukah kita mendengar
rekaman warisan perjuangan para perempuan yang mulia dalam langkah kita. Pesona
perjuangan sang shahabiyah, patut menjadi refleksi perjuangan kita sebagai
muslimah saat ini. Mulailah petakan langkah, dimana kaki kita akan berpijak,
dimana tangan kita akan merangkul.
Menjadi seorang perempuan, bukan berarti mengharuskan kita
hanya terpaku pada satu peran—Ibu Rumah Tangga. Sadar dan Tidak sadar, sebagai
seorang perempuan memiliki dimensi yang luas. Dari satu peran, sebagai Ibu
artinya adalah menjadi sosok yang tangguh, menyiapkan seluruh bekal perjuangan
seorang suami serta anak-anak. Maka Asma dengan kekuatannya menjadi sandaran
bagi kita sang penopang peran suami serta anak-anak kita di masyarakat. Dalam
peran sebagai perempuan yang berdiri di belakang lelaki yang kokoh itu, kita
juga tentu Tidak boleh melupakan, istri pertama Rasul, Khadijah RA, yang selalu
menjadi jantung yang mengalirkan darah dalam setiap perjalanan dakwah Sang
Rasul.
Menjadi seorang ibu artinya mengambil peran sebagai pembangun
pondasi yang paling fundamental bagi peradaban, karena dari sentuhan nilai
madrasah pertama ini lahir para sosok-sosok yang luar biasa yang mencemerlangkan
tiap lembar sejarah. Seperti Kabsyah binti Rafi’ bin Mu’awiyah, yang selalu
mendorong anaknya untuk ikut berjihad di medan perang, maka sejarah mencatat
bahwa kedua putranya—Sa’ad bin Muadz dan Amru bin Muadz--syahid di medan
perang. Dari nilai-nilai aqidah yang ditanamkannyalah Sa’ad bin Muadz menjadi
As-Siddiq kedua yang membenaran ajaran yang dibawa Sang Rasul.
Dari peran madrasah pertama ini, berangkatlah peran-peran
mulia lainnya. Sebagai perempuan artinya Tidak lepas dari para pendidik
nilai-nilai kehidupan. Tentu, Aisyah RA. yang hafal 2210 hadist itu sangat
pantas menjadi cermin kita sebagai seorang pendidik. Maka memenuhi kapasitas
keilmuan menjadi sebuah keharusan, sehingga setelahnya kita dapat menyirami
tunas-tunas peradaban yang akan tumbuh menjadi kebun yang rindang, menyejukkan
dunia dengan wawasannya. Tidak hanya bagi keluarga, Aisyahpun berhasil menjadi
pendidik para sahabat Rasul yang telah menancapkan tongggak-tonggak dakwah
Islam ini.
Sebagai seorang perempuan, mari kita kokohkan kaki kita untuk
melangkah dari satu peran ke peran lainnya, menjadi Asma binti Abu Bakar yang
tangguh menopang kebutuhan hijrah Sang Rasul, menjadi Khadijah yang terampil
berwirausaha serta mengelola keuangan untuk mengalirkan pundi-pundi bagi
keberlangsungan dakwah Islam, menjadi Kabsyah yang selalu menjadi pelopor serta
pendorong kebaikan itu, menginspirasi sejarah dengan semangatnya, menjadi
Aisyah sang pendidik yang menguatkan risalah ini dengan ilmu yang ditanamkannya
kepada para sahabat.
Sebagai seorang perempuan, mempersiapkan penguatan pondasi
syariah, meningkatkan kapasitas keilmuan, mengasah keterampilan serta bekal
yang akan menjadi penunjang sebagai madrasah pertama yang mempelopori
peran-peran selanjutnya adalah mutlak adanya. Karena berawal dari sentuhan
lembut seorang ibulah, akan tumbuh tunas-tunas yang akan merindangkan peradaban
dan mencemerlangkan sejarah dengan kontribusinya.
“Sekali lagi, mulailah petakan langkah, dimana kaki kita akan
berpijak, dimana tangan kita akan merangkul, karena sebagai seorang perempuan,
dari langkah madrasah kita gemintang sejarah akan bercahaya….”
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/tiffany-fauzia-rizqa/revitalisasi-peran-perempuan-refleksi-perjuangan-shahabiyah-di-masa-kejayaan-isl/10151068431395755
0 komentar: